Sumenep, beritata.com – Setiap tanggal 24 September diperingati sebagai Hari Tani Nasional, Peringatan tersebut pada awalnya merupakan momentum pembebasan petani dari ketertindasan. Bermula pada tahun 1960 sebagai penanda disahkannya UU Agraria. UU Agraria tersebut memberi kesempatan bagi para petani untuk memiliki tanah pertanian sendiri, membebaskan masyarakat dari menjadi pekerja di lahan-lahan orang lain dengan penghasilan yang sangat kecil.
Tan Malaka pernah menulis dalam bukunya ‘Madilog’, “Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan terlalu pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul, yang hanya memiliki cita-cita sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali”.
Setidaknya ungkapan yang ditulis Tan Malaka tersebut, masih kita rasakan hari ini, betapa orang-orang yang telah menempuh pendidikan tinggi tidak berminat menjadi petani, bahkan juga sangat jarang yang bercita-cita mengembangkan pertanian. Fenomena di masyarakat, juga masih kita saksikan banyaknya masyarakat yang menjadi pekerja-pekerja di perkebunan lahan milik perusahaan-perusahaan besar.
Kita semua sepakat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang berbunyi “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat”, harus diimplementasikan di negara ini.
Jika kita sedikit mengintip sistem pertanian di negara tetangga, seperti di Singapura, saat ini dalam beberapa sumber disebutkan, mereka telah melakukan penerapan sistem pertanian modern berbasis teknologi, dari proses penyiraman dan pengawasan menggunakandrone, pengecekan kelembaban tanah dan serangan hama semua dilakukan dengan memanfaatkaninternet of thing (IOT). Selain itu, dalam rangka mewujudkan swasembada pangan, beragam teknologi telah digunakan di sektor pertanian, antara lain dalam budi daya sayur menggunakan pencahayaanLED untuk memaksimalkan hasil panen, budi daya ikan dengan menjaga ekosistem dari gangguan racun dan tumpahan minyak juga dipantau menggunakan sistem teknologi.
Pemanfaataninternet of thing (IOT) adalah memanfaatkan internet untuk koneksi berbagai komponen dengan kecepatan transfer data yang tinggi, misalnya saat tanaman mengalami serangan hama, maka akan laungsung tertangkap oleh sensor, kemudian internet langsung mengirim informasi tersebut kepada petani di lokasi dimaksud segera dapat tertangani.
Sementara di Indonesia, masalah pertanian masih berkutat pada akses permodalan dan pemasaran. Para petani di desa kesulitan melakukan pemasaran ke tempat yang lebih baik, sehingga hasilnya tidak cukup menguntungkan. Aspek permodalan juga menjadi momok bagi petani, terutama petani konvensional di desa.
Dalam beberapa sumber, termasuk data IndexMundi dan BPS, menyatakan bahwa Indonesia termasuk lima negara dengan pertanian terbaik di dunia, lima besar negara tersebut adalah:
1) Amerika Serikat, memiliki lahan pertanian seluas 4.058.625 kilometer persegi pada 2015, dengan mayoritas dari komoditas Jagung senilai 9 milliar dolar AS, kedelai dan gandum
2) China, luas garapannya mencapai 5,278,330 kilometer persegi, unggul di sektor kapas, beras, kentang, dan banyak produk sayuran, juga termasuk ikan dan teh
3) Australia, lahan pertaniannya mencapai 3,659,130 kilomenter persegi, mayoritas pemasukan devisanya dari tanaman pangan dan peternakan
4) Brasil, memiliki luas lahan pertanian sebesar 2,825,890 kilometer persegi, ekspornya antara lain; kedelai dan gula
5) Indonesia, jika kita mengacu pada data IndexMundi, Indonesia memiliki jumlah lahan pertanian sebesar 570 ribu kilometer persegi, ekspor produk pertanian bertambah lagi jumlahnya yakni 41,3 juta ton. Ekspor andalannya adalah sawit dan produk pertanian (manggis dan nanas termasuk yang sering diminati).
“Para petani hebat Indonesia! Semoga pelaku pertanian di Indonesia makin sejahtera demi mewujudkan ketahanan pangan bangsa.”(red)