Sumenep, beritata.com – Polemik kasus tukar guling Tanah Kas Desa yang terjadi pada perumahan Bumi Sumekar Asri (BSA) Kabupaten Sumenep semakin menarik. Seakan menjadi bola liar dan perbincangan para aktivis dan praktisi hukum di Sumenep.
Bahkan beberapa media online menayangkan pemberitaan yang seakan ada yang pro dan kontra atas kasus tukar guling TKD tersebut. Akan tetapi yang paling dirugikan adalah warga masyarakat penghuni perumahan BSA yang sudah menempati rumah selama puluhan tahun dan tentunya rumah yang mereka huni secara keseluruhan sudah bersertifikat SMH.
Diawali dari tahun 1997 dimana gencar-gencarnya Pemerintah Pusat menggelontorkan Program Perumahan Rakyat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan hunian. Hal tersebut membuat pengembang perumahan mulai gencar bisnis properti.
PT Sinar Mega Indah Persada (SMIP) merupakan salah satu perusahaan developer perumahan yang cukup dikenal masyarakat Sumenep. Diawali pada tahun 1997 Direktur PT SMIP, H.Sugianto mengajukan permohonan pada Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk Tukar Guling TKD yang milik tiga desa yang lokasi TKD nya ada di desa Kolor.
Dan pada tahun 1997 itu juga Pemprov Jatim merespon dan menyetujui Tukar Guling TKD yang ada di Desa Kolor, yaitu TKD milik Pemdes Talango, Pemdes Cabbiya dan Pemdes Kolor.
Selang berjalannya waktu dari tahun 1997, muncul permasalahan di tahun 2015 dimana ada pelaporan dari Ketua Jatim Corruption Watch (JCW) Mohammad Siddik atas dugaan penggelapan Tanah Kas Desa pengganti yang dikatakan fiktif ke Polda Jatim Surabaya.
Selang waktu dari tahun 1997 ke tahun 2015, artinya dari awal persetujuan/izin Pempov Jatim atas tukar guling TKD sudah berjalan 18 tahun.
Tim investigasi beritata.com, mewawancarai praktis hukum Endiyono Raharjo SH.MH yang juga berprofesi sebagai advokat di kota Malang untuk dimintai tanggapan atas kasus tukar guling TDK yang terjadi di Sumenep. Rabu, 29 November 2023
“Klo penggelapan… Berarti tahun 1997 itu sudah kadaluwarsa mas… Karena ancaman penggelapan 4 tahun dan masa kadaluwarsa 12 tahun,” jelas Endik panggilan akrabnya.
Terkait dengan daluwarsa atas tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku atas perbuatan tindak pidana tersebut diatur dalam Pasal 78, 84, 85 KUHP, dimana Perhitungan daluwarsa penuntutan tersebut mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan. Jadi, apabila dalam kurun waktu yang telah disebutkan setelah dilakukan tindak pidana penggelapan/penggelapan dengan pemberatan, penuntut umum tidak melakukan penuntutan, maka hapuslah kewenangan untuk menuntut si pelaku (strafsactie).
Dengan melihat perkara Tukar Guling TKD Perumahan Bumi Sumekar Asri Sumenep yang melibatkan Drs. Ec. Muhamad Hadjar. Pria berusia 76 Tahun itu merupakan mantan pegawai BPN Sumenep.
Dua tersangka lansia lainnya adalah Mantan Kepala Desa Cabbiya M Ridwan, 70 tahun dan H. Sugianto, 63 tahun. Nama yang disebut terakhir ini merupakan pemilik Perumahan Bumi Sumekar. Atas dugaan penggelapan Tanah Kas Desa pengganti yang dikatakan fiktif ke Polda Jatim Surabaya, jelas sudah kadaluwarsa apabila mengacu pada aturan sesuai dengan Pasal 78 KUHP, karena ancaman pidana atas dugaan penggelapan tersebut 4 tahun, sehingga masa daluwarsanya 12 tahun.
Pasal 78 KUHP ;
(1) Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa:
- Mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan sesudah satu tahun;
- Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun;
- Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun;
- Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun.
Apabila hal tersebut masih dipaksakan akan banyak menimbulkan pelanggaran-pelanggaran yang di buat oleh pihak aparat kepolisian, selain sudah melanggar pasal 78, 84 dan 85 KUHP, juga telah melanggar Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 bahwa setiap orang berhak diakui serta mendapatkan jaminan perlindungan hukum yang sama di mata hukum, serta melanggar Hak Asasi Manusia sesuai dengan Pasal 34 UU No.39 Tahun 1999 Hak tidak diperlakukan Sewenang-wenang. Setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, dikucilkan, diasingkan, atau dibuang secara sewenang-wenang
Jadi hal ini seharusnya aparat kepolisian dapat menjalankan tugas dan kewajibannya sesuai dengan alur dan jalannya aturan yang ada sehingga tidak menyimpang dari aturan yang sebenarnya.
Dengan adanya tindakan dan perbuatan pihak kepolisian yang sewenang-wenang ini akan berakibat resah pada masyarakat Indonesia pada umumnya, karena hukum yang seharusnya dibuat untuk memberikan rasa aman, tentram dan tenang pada masyarakat malah memberikan rasa takut, cemas, khawatir dan gelisah.
Dikutip dari Berita Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Selasa, 31 Januari 2023 | 20:48 WIB, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan judul berita “Masa Kedaluwarsa Penuntutan Tindak Pidana Ciptakan Kepastian dan Keadilan” dalam Amar Putusanya dirasa cukup menarik untuk dicermati, “ Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, MK mengatakan norma Pasal 78 ayat (1) angka 4 KUHP yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon menyatakan “kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa: mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun” adalah norma yang mengatur mengenai pembatasan jangka waktu penuntutan yang berkaitan erat dengan hak negara dalam melakukan penuntutan terhadap suatu hal yang dilarang atau ius puniendi yaitu pembatasan jangka waktu terhadap hak negara dalam melakukan proses penuntutan kepada tersangka atau terdakwa tindak pidana atau yang lebih dikenal sebagai pembatasan hak negara dalam menjatuhkan pidana. “Oleh karenanya, daluwarsa (kedaluwarsa) masa penuntutan merupakan salah satu perwujudan dari prinsip due process of law dalam rangka memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum sebagai salah satu karakteristik dari sebuah negara hukum yang konstitusional,” ujar Wahiduddin Adams.
Selain itu, sambung Wahiduddin Adams, kehadiran ketentuan pasal a quo merupakan salah satu bentuk perlindungan oleh peraturan perundang-undangan, in casu KUHP yang bertujuan menciptakan perlindungan kepada pelaku dan korban tindak pidana dari kekuasaan negara (penuntutan) yang apabila tidak diberlakukan norma a quo dapat menjadi tanpa batas.(kutipan berita)
Setidaknya hukum dan aparat Negara dapat melindungi mengayomi dan melayani masyarakat secara baik dan benar sesuai dengan aturan dan perundang-undangan yang berlaku.(red)