Sumenep, beritata.com – Adanya permasalahan hukum yang terjadi pada tukar guling TKD (Tanah Kas Desa) yang kini jadi perumahan Bumi Sumekar Asri (BSA), dimana proses permasalahan yang dimaksud tersebut sejak tahun 1997, H. Sugianto mengajukan permohonan ke Gubernur Jatim untuk tukar menukar TKD tiga desa tersebut untuk keperluan pembangunan Perumahan BSA, dan Permohonan tukar menukar tanah yang dikenal dengan sebutan tukar guling itu pun terealisasi sesuai dengan surat persetujuan Gubernur Jatim nomor 143/3293/013/1997 tentang tukar menukar TKD Desa Kolor, Desa Talango dan Desa Cabbiya.
Adanya perbuatan yang dilakukan oleh H. Sugianto, adalah sejak dimulainya perbuatan pengajuan permohonan ke Gubernur Jatim untuk tukar menukar TKD tiga desa tersebut, yakni pada tahun 1997. Hal ini dilihat adanya perbuatan H. Sugianto yang di duga melakukan adanya permohonan ke Gubernur Jatim untuk tukar menukar TKD tiga desa tersebut adalah fiktif.
Akan tetapi keberadaan tanah yang diajukan untuk tukar guling tanah di 3 desa tersebut ternyata tidak fiktif, akan tetapi real (nyata) dan ada bentuk fisiknya, sehingga dugaan atas penggelapan tanah 3 desa tersebut tidak dapat diupayakan secara maksimal dan optimal oleh pihak Kepolisian Daerah Jawa Timur (PoldaJatim).
Kemudian tindakan atau upaya dari pihak Kepolisian Daerah JawaTimur (Polda Jatim) yang menemui jalan buntu untuk menjerat hukum kepada H. Sugianto tersebut akhirnya pada tahun 2016 menemukan hasil untuk kembali menjerat H. Sugianto dengan tindak pidana Penggelapan yang sama tetapi terkait bukan keberadaan obyek tanah yang diduga fiktif, akan tetapi dengan melalui penilaian atas obyek (apprasial) 3 tanah yang di tukar dari 3 tanah desa.
Bahwa penilaian atas obyek (apprasial) tersebut atas adanya yaitu : “Surat Kepala Perwakilan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Provinsi Jawa Timur Nomor : SR-949/PW13/5/2021, Hal : Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara atas Dugaan Tindak Pidana Korupsi Tukar Guling Tanah Kas Desa milik Desa Kolor, Kecamatan Kota Sumenep, Desa Cabbiya dan Desa Talango, Kecamatan Talango dengan tanah pengganti yang terletak di Desa Paberasan, Kecamatan Kota Sumenep dan Desa Poja, Kecamatan Gapura, Kabupaten Sumenep, Tahun 1997 yang ditujukan Kepada Yth. Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur di Surabaya, Tanggal 23 Desember 2021.
Apakah ini atas dasar dari informasi Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara pada tahun 2021???
Sedangkan dalam surat tersebut jelas mencantumkan tukar guling tanah yang terjadi sejak tahun 1997????
Hal ini apabila merujuk pada bahasa “sejak Kapan” maka kita akan bicara terkait dengan Tempus Delicti, dimana terkait dengan peristiwa pidana saat dan atau sejak dimulainya perbuatan pidana itu dilakukan, sesuai dengan Pasal 1 KUHP, untuk menentukan apakah perbuatan yang bersangkut paut pada waktu itu sudah dilarang dan diancam dengan pidana atau belum, dan Pasal 79 KUHP (verjaring atau daluarsa), dihitung mulai dari hari setelah perbuatan pidana terjadi.
Pentingnya mengetahui adanya Tempus delicti, tidak hanya locus delicti saja, sehingga jelas atas tindak atau perbuatan seseorang atas pidana yang dilakukan. Hal demikian sebenarnya sebagai wujud implementasi riil dan sejalan dengan amanat konstitusi Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mewajibkan negara untuk memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum kepada warga negaranya tanpa terkecuali, yaitu tersangka/terdakwa, korban tindak pidana dan masyarakat sebagai representasi dari kepentingan umum.
Jangan dijadikan adanya sebuah dasar atas tempus delicti tersebut sebagai mana sejak diketahuinya kejahatan atau perbuatan pidana itu dilakukan, akan tetapi yang harus dipahami adalah sejak perbuatan pidana itu dilakukan.
Juga di sampaikan oleh pakar atau ahli pidana Prof Dr. Wirjono Prodjodikoro S.H. dalam bukunya “Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia”, terkait dengan tempus delicti adalah waktu sejak munculnya perbuatan pidana yang dilakukan oleh seseorang yang diduga melakukan tindak pidana.
Hal tersebut diatas sangat tidak manusiawi atas tindakan yang dilakukan oleh seorang aparat yang seharusnya pihak aparat memberikan perlindungan hukum secara maksimal dan optimal, akan tetapi malah menjadi alat untuk menakut-nakuti masyarakat demi sebuah kepentingan, karena ini sangat bertentangan dengan Pasal 34 UU No.39 Tahun 1999 Hak tidak diperlakukan Sewenang-wenang Setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, dikucilkan, diasingkan, atau dibuang secara sewenang-wenang.
Di sisi lain pihak praktisi hukum dan LSM yang tidak suka dengan adanya keberadaan H. Sugianto atas tindakan korupsi dinilai sangat tidak pantas dan merugikan Negara, berusaha untuk mengintimidasi dan intervensi yang berlebih, sedangkan mereka juga mengetahui terkait dengan adanya Pasal 78 KUHP dan/atau pasal 136 UU No 1 Tahun 2023 tentang kadaluarsa perbuatan pidana yang dilakukan oleh seseorang.
Secara aturan dan hukum yang berlaku memang harus dilakukan upaya hukum dari pihak H. Sugianto atas adanya “penetapan tersangka” yang ditujukan kepadanya, akan tetapi setidaknya pihak aparat ataupun elemen yang lain seperti praktisi hukum atau LSM setidaknya mengetahui atas munculnya “PenetapanTersangka” tersebut, sehingga tidak menjadikan adanya kericuhan atau konflik perbedaan atas pro dan kontra terkait dengan permasalahan tersebut, seyogyanya pihak aparat mampu mengendalikan kondisi dan situasi yang terjadi saat ini dengan melakukan klarifikasi secara holistic, dengan mengembalikan kepada aturan dan perundang-undangan.
Hal ini perlu ditegaskan pihak aparat Kepolisian Daerah Jawa Timur setidaknya mengetahui secara pasti, jelas dan benar, karena acuan yang dipakai dan diambil adalah KUHP dan KUHAP, setidaknya tahu dan paham atas segala hal yang ada hubungannya dengan kepentingan hukum, dengan mengacu pada asas Kepastian, Keadilan dan Kemanfaatan Hukum.
Jelas adanya hukum adalah sebuah alat untuk memberikan rasa aman, tenang dan nyaman, dimana senada juga disampaikan tentang Law as a tool of sosial engineering merupakan teori yang dikemukakan oleh Roscoe Pound, yang berarti hukum sebagai alat pembaharuan/merekayasa dalam masyarakat.
Bukan dengan melakukan upaya paksa dan/atau jalan akhir (ultimumRemidium) dalam menentukan segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan hukum setidaknya ada upaya untuk memberikan jalan atau solusi yang tepat untuk menentukan arah dan tujuan hukum yang akan di pijak.
Dengan adanya pintu untuk mendapatkan pemahaman dan pengetahuan yang jelas setidaknya apabila tidak dapat menentukan adanya hal atau ihwal yang akan di peroleh adanya kepastian hukum yang baik dan benar, setidaknya pihak aparat dapat mendiskusikan dengan para pakar/ahli hukum atau jajaran instansi hukum yang terkait untuk mendapatkan kepastian hukum.
Kita tidak memberikan pelajaran atau pengetahuan terhadap aparat kepolisian yang sebenarnya sudah paham dan mengerti (seperti memberikan pembelajaran kepada ikan yang berenang) akan tetapi hal ini sangat perlu dan harus untuk adanya hukum yang berdiri tegak sesuai porsi atas hak masing-masing kedua belah pihak (baik Negara yang dirugikanatau H. Sugianto sebagai tersangka).
Hal ini supaya di kemudian hari tidak akan muncul permasalahan-permasalahan yang sama seperti ini, terkecuali tidak adanya pertentangan (pro dan Kontra) atas hukum ataupun melanggar aturan dan Perundang-undangan (KUHP atau KUHAP).(red)
Kajian Hukum oleh Endiyono Raharjo SH.MH (Advokat)