Sumenep, beritata.com – Dalam membuat putusan, seorang hakim sepatutnya dalam menimbang dan memutus suatu perkara dengan memperhatikan asas keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan agar putusan yang dikeluarkan menjadi putusan yang ideal.
Perkara pemalsuan uang (upal) senilai 22 juta 350 ribu rupiah yang terjadi di Kabupaten Sumenep dengan sangkaan atas perkara tersebut yaitu pasal 245 KUHP dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara pada akhir tahun 2023 dan sudah menjalani sidang hingga putusan, masih menyisakan pertanyaan masyarakat Sumenep.
Putusan/vonis atas tiga orang terdakwa S,M dan MH dengan nomor perkara 254/Pid.8/2023/PN Smp sudah diputuskan dan inkrah oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Sumenep pada Januari 2024 lalu. Dengan hasil putusan atas ketiganya yaitu vonis pidana penjara selama 3 bulan 15 hari.
Bunyi Pasal 245 KUHP: “Barang siapa dengan sengaja mengedarkan mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank sebagai mata uang atau uang kertas asli dan tidak palsu padahal ditiru atau dipalsu olehnya sendiri atau waktu diterima diketahuinya bahwa tidak asli atau palsu ataupun barang siapa menyimpan atau memasukkan ke Indonesia, mata uang dan uang kerta yang demikian dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan mata uang atau uang kertas itu sebagai asli dan tidak palsu diancam dengan pidana 15 tahun penjara.”
Hal Putusan Hakim dan tuntutan JPU menjadikan pertanyaan dikalangan masyarakat Sumenep, beberapa komentar dari mereka mengatakan, “enak yaa… pelaku upal hanya diputus 3 bulan. Kok bisa hanya di vonis segitu. Patut dicurigai, tuntutan jaksa dan putusan hakimnya,” komentar Mat Surah warga Sumenep.
Untuk diketahui tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas ketiga terdakwa pada saat persidangan yaitu 7 bulan pidana penjara, sementara putusan/vonis majelis hakim yaitu 3 bulan 15 hari.
Dalam sidang tersebut diketahui Ketua Majelis Hakim yaitu Quraisyiyah, SH., MH. yang notabene menjabat Wakil Ketua Pengadilan Negeri Sumenep dan Jaksa Penuntut Umum dipegang Hanis Aristya Hermawan, SH., MH yang juga menjabat Kasi Pidum Kejaksaan Negeri Sumenep.
Menurut praktisi hukum Endiyono Raharjo, SH. MH, “Hakim dalam memutuskan suatu perkara biasanya minimal 2/3 dari tuntutan JPU dan seandainya dibawahnya setidaknya JPU akan melakukan upaya banding atas putusan tersebut,” ujar praktisi hukum yang berasal dari kota Malang.
Endiyono juga menambahkan jika ada kejanggalan dalam tuntutan maupun putusan, maka untuk Hakim yang melanggar kode etik bisa dilaporkan ke Komisi Yudisial (KY) dan untuk Jaksa bisa dilaporkan ke Jaksa Agung Muda bidang Pengawasan (Jamwas) Kejaksaan Agung (Kejagung).
Pemaknaan hakim sebagai wakil Tuhan menjadikan putusan hakim seakan mandat langsung dari Tuhan yang harus dilaksanakan. Dengan demikian, baik buruk segala sesuatu yang menjadi dasar pertimbangan dalam putusan merupakan aspek penting yang menentukan kualitas suatu putusan itu sendiri.
Namun, faktanya saat ini, menunjukkan terjadinya penurunan kualitas dalam beberapa putusan hakim, sehingga membuat segala aspek yang berhubungan dengan penetapan suatu putusan, termasuk penerapan kode etik, harus dilakukan sebuah pengkajian guna evaluasi pelaksanaan.
Sampai berita ini terbit, beritata.com masih berupaya konfirmasi pada Majelis Hakim Quraisyiyah, SH., MH. yang menurut info masih melakukan perjalanan dinas ke Kepulauan.(red)